HukumNEWS

Ungkap Ketidakadilan di Tempat Kerja, Septia Dijerat UU ITE oleh Pengusaha

Advokat Tuntut Pembebasan Septia: Korban Kriminalisasi Kebebasan Berekspresi

Jakarta, spsibekasi.org – Kasus penahanan Septia Dwi Pertiwi, mantan buruh PT Hive Five, memicu perhatian publik setelah ia dilaporkan oleh pemilik perusahaan, Henry Kurnia Adhi alias John LBF, atas tuduhan pencemaran nama baik. Septia ditahan oleh Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat setelah mengungkapkan pelanggaran hak ketenagakerjaan di perusahaannya melalui media sosial.

Dilansir dari Tempo. Co, Tim advokasi dari Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) dan SAFEnet (Southeast Asia Freedom of Expression Network) menggelar aksi di depan Gedung Kejaksaan Agung untuk menuntut pembebasan Septia. Ganda M. Sihite, koordinator aksi sekaligus kuasa hukum Septia, menyampaikan bahwa penahanan ini merupakan bentuk kriminalisasi terhadap kebebasan berekspresi.

“Kami menuntut agar Kejaksaan Agung segera membebaskan Septia karena yang disuarakannya adalah bentuk pembelaan hak pekerja. Tidak ada alasan yang jelas bagi Kejaksaan untuk menahannya,” ujar Ganda dalam orasinya di depan Gedung Kejaksaan Agung.

Kasus ini bermula saat Septia membagikan pengalaman kerjanya di PT Hive Five melalui unggahan di media sosial X. Ia mengkritik sejumlah pelanggaran yang dialaminya, seperti upah di bawah UMR, lembur yang tidak dibayar, jam kerja melebihi batas, pemotongan gaji sepihak, hingga tidak adanya pembayaran BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.

Unggahan tersebut memicu laporan dari John LBF yang menuduh Septia melanggar Pasal 27 Ayat (3) juncto Pasal 45 Ayat (3) dan Pasal 36 UU ITE serta Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP. Pasal-pasal ini, khususnya Pasal 27 Ayat (3) UU ITE, sering dianggap sebagai “pasal karet” yang multitafsir dan kerap digunakan untuk membungkam kritik dari buruh, aktivis, dan jurnalis.

Proses hukum terhadap Septia berlangsung cepat. Mediasi pertama antara Septia dan John LBF dilakukan pada 13 Maret 2024 di Polda Metro Jaya. Namun, John LBF tidak hadir dalam mediasi tersebut. Pada 26 Agustus 2024, Septia resmi ditetapkan sebagai tersangka dan langsung ditahan di Rutan Pondok Bambu, Jakarta Timur, meskipun selama proses pemeriksaan, ia bersikap kooperatif dan tidak pernah mangkir dari panggilan penyidik.

Penahanan ini menimbulkan tanda tanya besar, mengingat Septia tidak menunjukkan potensi untuk melarikan diri atau menghilangkan barang bukti. Permohonan penangguhan penahanan yang diajukan oleh tim kuasa hukum pun belum mendapat respons dari Kejaksaan.

Ganda M. Sihite menegaskan bahwa tindakan Kejaksaan yang menahan Septia tanpa alasan yang jelas merupakan bentuk kriminalisasi. “Septia tidak pernah mangkir dari panggilan kepolisian, namun tetap ditahan dengan alasan yang tidak masuk akal. Ini adalah upaya untuk membungkam buruh yang berani bersuara,” ujarnya.

Kasus Septia Dwi Pertiwi menjadi simbol perjuangan buruh dalam memperjuangkan hak-hak mereka. Tim advokasi mengajak masyarakat luas untuk memberikan dukungan terhadap pembebasan Septia dari segala bentuk kriminalisasi yang tidak berdasar.

Kasus ini juga menjadi peringatan akan perlunya perlindungan yang lebih baik terhadap hak kebebasan berekspresi, terutama bagi buruh dan pekerja yang ingin mengungkapkan pelanggaran yang terjadi di tempat kerja mereka.

Sumber: https://metro.tempo.co/read/1912819/buruh-ditahan-gara-gara-ungkap-gaji-perusahaan-di-bawah-umr-dan-lembur-tak-dibayar

Editor: Her-spsibekasi.org

Related Articles

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker