Seluruh negeri terhenyak dengan bencana alam (banjir, longsor, gempa bumi, dan cuaca ekstrem) yang terjadi di Sumatera bagian utara meliputi Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat. BMKG menulis bahwa peristiwa siklon tropis yang melanda Sumatera tidak dapat dilepaskan dari hilangnya sekitar 1,4 juta hektare hutan tropis yang dialihfungsikan menjadi kawasan pertambangan maupun perkebunan sawit.[1] Sampai memasuki minggu ketiga bencana tersebut terjadi, mengutip pernyataan Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Kebencanaan BNPB, Abdul Muhari, dalam jumpa pers, Kamis (18/12/2025), korban meninggal dunia mencapai 1.068 orang terdiri dari korban di Aceh 456 orang, Sumatera Utara 366 orang, dan Sumatera Barat 246 orang.[2]
Bencana yang terjadi sejak akhir November 2025, tak kunjung membuat Presiden Prabowo Subiyanto menyatakan sebagai bencana nasional. Presiden Prabowo menyatakan Indonesia masih mampu mengatasi bencana ini dalam pernyataan beliau pada sidang kabinet paripurna, di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (15/12/2025).[3] Bencana yang terjadi tidak hanya menimbulkan kerugian fisik dan ekologis, tetapi juga berdampak langsung pada keberlangsungan kerja, pendapatan, dan perlindungan sosial jutaan pekerja. Isu bencana tidak dapat dipisahkan dari isu keadilan sosial dan hak konstitusional pekerja atas jaminan sosial sebagaimana diamanatkan Pasal 28H ayat (3) dan Pasal 34 ayat (2) UUD 1945. Dalam konteks tersebut, BPJS Ketenagakerjaan memegang peran strategis sebagai instrumen negara dalam menjaga kesinambungan kesejahteraan pekerja dan keluarganya pasca bencana.
Pola yang ditunjukkan dari dampak bencana secara sosial merupakan dampak berlapis (multi-layered impact), antara lain hilangnya sumber penghidupan (PHK, berhentinya usaha mikro, rusaknya alat produksi), risiko kematian dan kecelakaan kerja tidak langsung (saat evakuasi dan pemulihan), kerentanan kepesertaan, khususnya pekerja BPU yang terputus iuran, dan ancaman kemiskinan struktural akibat tergerusnya tabungan dan aset rumah tangga. Dalam perspektif jaminan sosial modern, kondisi ini dikategorikan sebagai systemic shock yang memerlukan respons kelembagaan luar biasa. Hadirnya peran BPJS TK sebagai pemegang mandat pelaksana jaminan sosial nasional dengan kemandirian dana jaminan sosialnya (non-APBN), tentunya juga dapat diartikan sebagai kehadiran Negara melalui mekanisme jaminan sosial dengan instrumen yang sangat dekat dengan pekerja. Prasyarat utama dalam kebijakan ini adalah diperuntukkan bagi peserta BPJS TK dengan limitasi zona bencana untuk waktu tertentu.
UU No. 40 Tahun 2004 dan UU No. 24 Tahun 2011 menempatkan BPJS Ketenagakerjaan sebagai pelaksana perlindungan sosial tenaga kerja. Bencana alam secara langsung menciptakan risiko sosial ekonomi terhadap pekerja, sehingga dalam hal ini BPJS TK tidak melampaui mandat jaminan sosial yang diatur dalam UU. Perlindungan pasca bencana merupakan perluasan fungsional, bukan penyimpangan mandat, bahkan praktik internasional (ASP) menegaskan peran lembaga jaminan sosial dalam mitigasi bencana. Praktik internasional menunjukkan bahwa lembaga jaminan sosial yang adaptif terhadap bencana mampu menjalankan konsep Adaptive Social Protection yang menempatkan jaminan sosial sebagai instrumen respons cepat, bukan sekadar mekanisme pasif berbasis klaim. Dengan konsep tersebut BPJS TK diharapkan mampu menekan lonjakan kemiskinan pasca-bencana, menjaga stabilitas hubungan kerja, dan mempercepat pemulihan ekonomi lokal.
Dari sisi pendanaan, dana jaminan sosial (DJS) nilainya total ratusan triliun yang dikelola secara pruden serta cadangan teknis dari hasil investasi yang stabil dan berkelanjutan. Kerangka regulasi fleksibel yang memungkinkan inovasi kebijakan sehingga tidak/tanpa membebani APBN secara langsung. Posisi peran yang diambil oleh BPJS TK berbentuk sinergi kebijakan dan bukan mengganti. Dari sisi pelaksanaannya hal tersebut bukan deskresi kebijakan internal BPJS TK namun semata-mata adaptif dalam pelaksanaan jaminan sosial. Karena zona bencana yang terjadi di Sumatera ditetapkan melalui keputusan pemerintah (BNPB/Pemda), bukan diskresi BPJS. Wilayah terdampak bencana meliputi Provinsi Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat dimana jumlah peserta aktif BPJS TK (Oktober 2025) sebesar 2.912.780 peserta[4] dengan asumsi peserta terdampak langsung ± 1 – 1,5 juta peserta (PU dan BPU) dengan proporsi pekerja informal (BPU) mencapai ± 60%. Tentunya hadirnya program adaptif dalam bencana Sumatera akan sangat dirasakan manfaatnya bagi peserta.
Dampak utama bencana dapat berupa kematian, kecelakaan, kehilangan pekerjaan yang kemudian mengakibatkan dampak ikutan yaitu kemampuan bayar dan keberlanjutan kepesertaan. Beberapa analisis kritis atas instrumen program eksisting dapat digambarkan sebagai berikut:
JKK dan JKM dalam Konteks Bencana,
Program JKK dan JKM telah memberikan manfaat signifikan bagi pekerja yang menjadi korban langsung bencana. Namun masih terdapat tantangan:
- Kebutuhan simplifikasi klaim dalam kondisi darurat;
- Perluasan tafsir kecelakaan kerja akibat bencana;
- Penguatan koordinasi dengan BNPB dan pemerintah daerah.
JHT dan Risiko Deplesi Aset Pekerja
Pencairan JHT pasca bencana sering menjadi last resort pekerja. Tanpa skema penyangga, hal ini berpotensi melemahkan ketahanan jangka panjang hari tua.
JKP dan Kesenjangan Pekerja Informal
Program JKP masih terbatas pada pekerja formal, sementara mayoritas korban bencana di Sumatera berasal dari sektor informal, pertanian, dan perikanan.
Rekomendasi Kebijakan Penguatan Program BPJS TK
Dari analisis dampak bencana yang terjadi di Sumatera dengan menyandingkan instrumen program eksisting, maka rekomendasi kebijakan yang dapat diambil diantaranya:
1. Kebijakan Relaksasi Iuran Berbasis Zona Bencana, Menetapkan status “Zona Bencana Nasional/Daerah” sebagai dasar:
- Pembekuan iuran sementara;
- Kepesertaan tetap aktif;
- Penghapusan denda keterlambatan.
2. Skema Manfaat Layanan Tambahan (MLT) Pemulihan Rumah dan Usaha, MLT diarahkan tidak hanya pada perumahan, tetapi juga:
- Rehabilitasi tempat usaha mikro pekerja;
- Skema pembiayaan ultra-ringan dengan jaminan saldo JHT;
- Sinergi dengan Himbara dan BPD.
3. Skema Perlindungan Sementara Pekerja BPU Terdampak Bencana, Menginisiasi:
- Bantuan tunai sementara berbasis kepesertaan aktif;
- Pendanaan melalui optimalisasi TJSL dan hasil investasi;
- Model pilot project di wilayah Sumatera.
4. Digitalisasi dan Simplifikasi Klaim Darurat
- Fast-track claim berbasis data kependudukan dan kepesertaan;
- Penghapusan dokumen non-esensial;
- Pos layanan BPJS Ketenagakerjaan di lokasi bencana.
Proyeksi Dampak Yang Diharapkan
Kebijakan program diatas kata kuncinya adalah adaptifitas program eksisting ’’terbatas’’ pada zona bencana sehingga diproyeksikan menghasilkan dampak sebagai berikut:
- Menurunkan risiko kemiskinan ekstrem pasca bencana melalui perlindungan pendapatan sementara;
- Menjaga keberlangsungan kepesertaan aktif, khususnya pekerja informal;
- Mencegah PHK lanjutan akibat tekanan biaya pasca bencana;
- Mempercepat pemulihan ekonomi lokal melalui stabilisasi daya beli pekerja.
Dari perspektif makro sosial, biaya intervensi jauh lebih kecil dibanding biaya sosial akibat:
- kemiskinan baru;
- konflik hubungan industrial;
- beban bantuan sosial jangka panjang.
Selain dampak yang dapat dicegah di atas, relaksasi yang bersifat temporer dan berbasis zona bencana dan bukan kebijakan nasional permanen akan memberikan peluang keberlanjutan kepesertaan bagi peserta terdampak bencana. Skema kebijakan yang berupa penundaan (deferment) dan bukan penghapusan hak iuran, secara kas dampaknya sangat kecil dibanding total arus masuk DJS tahunan sehingga tidak menambah liabilitas jangka panjang. Disamping itu, dampak reputasi positif bagi lembaga BPJS TK justru meningkatkan kepercayaan dan kepesertaan jangka panjang serta kepercayaan publik adalah intangible asset lembaga.
Peran yang nyata dari BPJS Ketenagakerjaan dalam kondisi bencana bagi peserta khususnya sangat berarti. Serikat Pekerja berpandangan bahwa ketidakhadiran kebijakan perlindungan pasca bencana merupakan risiko kelembagaan yang lebih besar dibanding risiko fiskal yang terukur. BPJS Ketenagakerjaan harus diposisikan sebagai institusi jaminan sosial yang responsif terhadap bencana, demi menjaga martabat pekerja dan mencegah lahirnya kemiskinan baru akibat musibah alam. Kalau dapat digambarkan benefit kualitatif yang didapatkan dengan hadirnya peran/intervensi BPJS TK:
| Komponen | Tanpa Intervensi | Dengan Intervensi BPJS TK |
| Kepesertaan aktif | Menurun drastis | Stabil & berlanjut |
| Risiko kemiskinan | Tinggi | Terkendali |
| Beban APBN | Tinggi (bansos) | Minimal |
| Kepercayaan publik | Menurun | Meningkat |
Dapat disimpulkan, peran/intervensi BPJS Ketenagakerjaan bersifat high social return, low fiscal risk. Dengan hadirnya peran BPJS TK dalam bencana Sumatera juga dapat dimaknai sebagai bentuk hadirnya Negara melalui instrumen jaminan sosial dan menjadi wujud kuatnya sebuah Negara. “Negara yang kuat adalah negara yang pertama hadir ketika pekerja/buruh kehilangan segalanya akibat bencana.” (Zen)




