Pernyataan Sikap Pimpinan Cabang FSP KEP SPSI Bekasi Pasca Perppu Cipta Kerja disahkan Menjadi Undang-Undang
Oleh Moh. Yusuf, SH, MH Selaku Bidang Advokasi PC FSP KEP SPSI Bekasi

UU No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja adalah sebuah Undang-Undang yang disahkan pada 5 Oktober 2020 oleh DPR RI dan resmi diundangkan pada tanggal 2 November 2020. Undang-Undang ini bertujuan untuk menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan investasi asing dalam negeri dengan mengurangi banyak persyaratan yang memberatkan, Undang-Undang ini populer disebut dengan nama Undang-Undang sapu jagat atau Omnibus Law.
Pasca UU No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja di Undangkan, Undang-Undang ini banyak menuai kritik karena banyak merugikan pekerja. Dampak dari banyaknya kritikan tersebut banyak aksi Penolakan yang dilakukan oleh Serikat Pekerja/Buruh agar Undang-Undang Cipta Kerja tersebut segera dicabut. Bahkan suara Perlawanan untuk penolakan Undang-Undang Cipta Kerja pun menjadi trending topic di media sosial, tidak terkecuali para Akademisi diberbagai Universitas di Indonesia yang menolak Undang-Undang Cipta Kerja karena dianggap Cacat, baik secara formil maupun materiil.
Disamping melakukan aksi-aksi unjuk rasa, perlawanan penolakan UU Cipta Kerja dengan cara Pengajuan Judicial Review ke Mahkamah Konsitusi dengan menghasilkan Putusan pada tanggal 25 November 2021 yang menyatakan bahwa UU Cipta Kerja dinyatakan Inkonstitusional Bersyarat yang harus diperbaiki salam kurun waktu selama 2 tahun, namun apabila tidak diperbaiki maka dinyatakan Inkonstitusional secara permanen.
Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 91/PUU-XVIII/ 2020 yang menjadi sebuah harapan bagi para pekerja ternyata hilang dengan sekejap mata karena pada tanggal 30 Desember 2022 Presiden Republik Indonesia memberikan Kado Pahit Akhir Tahun berupa mengeluarkan Perppu No 2 tahun 2022. Perppu tersebut dikeluarkan dengan alasan Kegentingan Memaksa.
Apabila dilihat dari alasan kegentingan memaksa, sebagaimana yang telah tercantum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009 yaitu kegentingan memaksa harus memenuhi 3 (tiga) syarat yang pertama “Adanya Keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang”, yang Kedua “Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehinga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai”, dan yang Ketiga “Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara Prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan”. Parameter kegentingan memaksa tersebut haruslah dipahami bukan suatu alternatif pilihan, melainkan kumulatif menjadi setidaknya 3 (tiga) syarat yang harus kesemuanya terpenuhi, dan manakala satu saja tidak terpenuhi maka demi hukum tidak terpenuhinya syarat kegentingan memaksa PERPPU tersebut dan oleh karenanya secara proses penetapannya wajib dinyatakan inkonstitusional. Hal ini didasarkan pada ketiga parameter sebagaimana tersebut di atas, merupakan penafsiran dari Mahkamah Konstitusi agar dibatasinya subjektifitas hak Presiden dalam membuat Perppu, hal ini dapat dilihat pada Pertimbangan Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009;
Sangat jelas dikeluarkannya Perppu oleh Presiden RI telah mengabaikan konstitusi, sampai Perppu tersebut diajukan Ke DPR RI untuk mendapatkan Persetujuan atau Penolakan sebagimana diatur dalam UUD 1945 Pasal 22 ayat (2) yang berbunyi “Peraturan Pemerintah itu harus mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan berikut”. Makna “dalam persidangan berikut” adalah masa sidang Dewan Perwakilan Rakyat setelah Perppu itu terbit, yaitu pada tangal 10 Januari-16 Februari 2023 dan sudah terlampaui oleh DPR sehingga tidak dapat menyetujui Perppu menjadi Undang-Undang.
Dan sikap DPR RI persis seperti Presiden yang menabrak konstitusi /tidak perduli dengan konstitusi, kemarin pada hari Selasa tanggal 21 Maret 2023 dalam sidang menyatakan menyetujui Perppu No. 2 tahun 2022 menjadi Undang-Undang.
Atas dasar yang telah kami uraikan diatas maka dengan ini PC FSP KEP SPSI Kabupaten-Kota Bekasi menyatakan Sikap sebagai berikut :
- Presiden RI dan DPR RI telah melakukan Pembangkangan Konstitusi Undang-Undang Dasar 1945;
- Mengajak Para Pekerja. Serikat Pekerja/Buruh untuk bersatu padu melawan Pemufakatan Jahat yang dilakukan Presiden RI dan DPR RI baik secara Hukum dengan mengajukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi dan melakukan Aksi Unjuk Rasa memaksa Presiden RI dan DPR RI membatalkan Undang-undang Cipta Kerja;
- Apabila Undang-Undang Cipta kerja tidak dicabut maka hanya ada satu jalan yaitu REVOLUSI;
- Menyerukan kepada seluruh pekerja untuk mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum terhadap Presiden RI dan DPR RI.
Demikian pernyataan sikap ini dibuat untuk disebarluaskan kepada anggota PUK SPKEP SPSI Kabupaten-Kota Bekasi ataupun khalayak umum.
Hmw-spsibekasi.org