PRESS RELEASE FH UGM: PRESIDEN DAN DPR SUPAYA MENCABUT UU CIPTA KERJA
UU Cipta Kerja Inkonstitusional

Diambil dari Press Release Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada (UGM) yang telah melakukan Webinar Nasional tanggal 15- 16 Desember 2021 membahas Putusan MK Uji Formil UU Cipta Kerja. Releaser sebagai berikut:
Pada 25 November 2021, Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutus 12 permohonan pengujian UU Cipta Kerja (UUCK). Dari 12 permohonan UUCK itu, hanya ada satu perkara yang dikabulkan oleh MK terkait dengan pengujian formil (Perkara No. 91/PUU-XVIII/2020). Satu perkara tidak dapat diterima karena pemohon tidak memiliki legal standing, dan 10 perkara lainnya terkait dengan pengujian materil tidak dapat diterima karena permohonan kehilangan objek sebab MK telah menyatakan bahwa UUCK inkonstitusional bersyarat. Setelah putusan MK, muncul perdebatan di kalangan masyarakat dan akademisi mengenai apa sebenarnya inti dan implikasi dari putusan MK tersebut, serta bagaimana seharusnya pemerintah dan DPR menindaklanjuti putusan MK tersebut? Presiden Joko Widodo (29 Nov 2021) menyatakan bahwa UUCK masih berlaku berikut dengan peraturan pelaksananya, dan pemerintah menjamin investasi yang sudah, sedang dan akan dilakukan oleh investor aman terjamin. Pernyataan tersebut terkesan terburu-buru tanpa mempertimbangkan secara menyeluruh aspek kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan bagi masyarakat luas. Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada mengadakan Webinar Nasional membahas Putusan MK terhadap UUCK pada 15-16 Desember 2021. Hari pertama seminar membahas perbaikan mendasar dan menyeluruh aspek formil pembentukan UUCK. Kegiatan ini menjadi sarana untuk memperkaya materi yang akan dimasukkan ke dalam Policy Paper yang sedang dipersiapkan oleh Fakultas Hukum UGM untuk memberikan masukan kepada Pemerintah dan DPR. Sesi ini dipandu oleh Dr. Richo A Wibowo dengan pembicara antara lain:
- Mahaarum Kusuma Pertiwi, SH, MA, MPhil, PhD.
- Yance Arizona, SH, MH, MA.
- Herlambang Perdana Wiratraman, SH, MA.
- I Gusti Agung Made Wardana, SH, LLM, PhD
Beberapa hal pokok yang disimpulkan dari diskusi ini, antara lain:
- MK menyatakan pembentukan UUCK bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan” (Amar 3). Hal ini berarti bahwa UUCK tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sejak putusan dibacakan sampai dengan dipenuhi persyaratan menurut MK yaitu dilakukan perbaikan UUCK oleh Presiden dan DPR paling lambat dalam waktu dua tahun. Bila tidak dilakukan perbaikan dalam waktu dua tahun, maka UUCK menjadi inkonstitutional permanen (Amar 5), dan seluruh undang-undang yang diubah dan dicabut oleh UUCK dinyatakan berlaku kembali (Amar 6).
- MK menyatakan UUCK masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana yang telah ditentukan dalam putusan (Amar 4). Hal ini menimbulkan kontroversi dan menjadi dasar bagi pemerintah untuk menilai bahwa UUCK masih bisa diterapkan. Padahal untuk memahami hal ini dengan baik harus bersandar pada prinsip mengenai perbedaan antara daya laku (validity) dan daya ikat (efficacy) dari suatu peraturan perundang-undangan. Pernyataan MK bahwa UUCK masih tetap berlaku harus ditempatkan pada konteks keabsahan atau daya laku (validity) suatu undang-undang, bukan pada daya ikatnya (efficacy) sebab MK sudah menyatakan pada Amar 3 bahwa UUCK tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sehingga UUCK tidak dapat dilaksanakan. Oleh karena itu, satu-satunya yang bisa dilakukan oleh Presiden dan DPR terhadap UUCK ialah melakukan perbaikan, bukan menerapkannya.
- Bahkan Amar 7 Putusan MK menyatakan agar Pemerintah menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UUCK. Artinya hampir tidak ada yang bisa dilakukan oleh pemerintah untuk menerapkan UUCK, sebab ruang lingkup UUCK seluruhnya ialah mengatur hal yang bersifat strategis (Pasal 4 UUCK).
- Dengan dinyatakan bahwa UUCK tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh MK [sampai dengan dilakukan perbaikan], maka seluruh peraturan pelaksananya, termasuk peraturan lain yang terkait dengan UUCK, tidak memiliki kekuatan hukum untuk dijadikan sebagai dasar menyelesaikan permasalahan di dalam masyarakat. Hal ini sejalan dengan konsep rantai keabsahan peraturan (the chain of validity), bahwa keberlakuan suatu peraturan harus didasarkan pada peraturan di atasnya yang masih memiliki kekuatan hukum mengikat. Dalam kondisi ini, bila pemerintah memaksakan menerapkan UUCK dan peraturan pelaksananya, maka akan rentan menjadi objek gugatan, menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan di dalam masyarakat. Oleh karena itu, sebaiknya UUCK harus dicabut.
Rekomendasi
- Presiden dan DPR segera mencabut UUCK sebagai langkah awal untuk melakukan perbaikan sebagaimana dikehendaki oleh Putusan MK. Pencabutan UUCK dilakukan dengan sekaligus memberlakukan kembali undang-undang yang sudah diubah dan dicabut oleh UUCK untuk menghindari terjadinya kekosongan hukum.
- Pemerintah untuk menghentikan penerapan UUCK, termasuk pelaksanaan peraturan pemerintah dan peraturan lainnya yang sudah dibuat. Hal ini mengingat bahwa UUCK sudah tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sampai dilakukan perbaikan, sehingga sangat berpotensi menimbulkan ketidakpastian, ketidakadilan, dan mudharat dalam pelaksanaannya.
- DPR bersama dengan Presiden perlu segera melakukan perubahan terhadap UU No. 12 Tahun 2011 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP). Substansi perubahan UU PPP paling tidak memperhatikan dengan serius dua hal berikut:
- Memasukkan pengaturan mengenai metode omnibus law secara kluster. Sehingga materi yang dilakukan perubahan ialah materi dari berbagai undang-undang dengan satu kluster tematik. Tidak seperti UUCK yang multi-kluster.
- Memasukkan asas partisipasi publik sebagai semangat utama dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Norma-norma mengenai partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation) harus disusun agar aspirasi masyarakat didengar dan dipertimbangkan sebaik-baiknya dalam setiap tahapan pembentukan undang-undang mulai dari pengajuan, pembahasan sampai dengan persetujuan.
Perubahan UU PPP diharapkan bisa memperbaiki proses pembentukan undang-undang dikemudian hari, agar tidak terulang proses legislasi yang cacat prosedur dan tidak partisipatif seperti UUCK.
- Bila Presiden dan DPR kemudian hari hendak membuat undang-undang guna mendukung penyediaan lapangan pekerjaan bagi masyarakat, maka paradigmanya harus diubah dengan mendasarkan pada semangat ekonomi kerakyatan dan perlindungan hak[1]hak asasi manusia yang ditegaskan dalam UUD 1945, tidak menghamba pada kepentingan investasi dengan mengorbankan keselamatan rakyat dan kelestarian lingkungan hidup.