Endang Rokhani, SH MSi : Pasca Putusan MK terhadap UU No. 11 tahun 2020
Bagaimana Putusan MK tentang UU Cipta Kerja menurut Kuasa Hukum
PENGANTAR
Setelah dibacakannya putusan Mahamah Konstitusi (MK) pada tanggal 25 November 2021, seketika terjadi “kegaduhan “ dalam masyarakat, khususnya yang mempunyai kepentingan atas persidangan yang digelar MK untuk menguji formil atas Undang-undang No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UUCK). “Kegaduhan” disebabkan putusan MK tidak memberikan putusan yang tegas, akan tetapi sebaliknya menimbulkan interpretasi berbeda baik dari Pemerintah, maupun dari berbagai kelompok mayarakat, baik secara institusi ataupun individu. Dari berbagai perkara yang disidangkan oleh MK mungkin ini salah satu yang mendapatakan respon paling ramai dari masyarakat. Sudah seharusnya putusan MK menjadi sangat menarik karena ada ambiguinitas sikap MK. Di satu sisi menyatakan bahwa telah terjadi pelanggaran prosedur dalam penyusunannya. Sehingga dinyatakan cacad formil, akan tetapi dtetapkan sebagai inkonstitusional terbatas, tetapi juga dinyatakan masih tetap berlaku. Ini adalah situasi hukum yang ambigu dan sangat membingungkan.
PERTIMBANGAN HUKUM
Dalam pertimbangan hukumnya pada paragraf [3.19] MK menyatakan :
Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, oleh karena terhadap tata cara pembentukan UU 11/2020 tidak didasarkan pada cara dan metode yang pasti, baku, dan standar, serta sistematika pembentukan undang-undang; terjadinya perubahan penulisan beberapa substansi pasca persetujuan bersama DPR dan Presiden; dan bertentangan dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan, maka Mahkamah berpendapat proses pembentukan UU 11/2020 adalah tidak memenuhi ketentuan berdasarkan UUD 1945, sehingga harus dinyatakan cacat formil.
Akan tetapi pertimbangan hukum ini tidaklah menjadi landasan lurus dalam amar putusan. Persoalan timbul dalam mengartikan isi amar putusan perkara a quo. Kenyataannya amar putusan menyatakan :
- Menyatakan pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan”;
- Menyatakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana yang telah ditentukan dalam putusan ini;
- Memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan dan apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan maka Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan 417 Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) menjadi inkonstitusionasecara permanen;
- Menyatakan apabila dalam tenggang waktu 2 (dua) tahun pembentuk undang-undang tidak dapat menyelesaikan perbaikan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) maka undang-undang atau pasal-pasal atau materi muatan undang-undang yang telah dicabut atau diubah oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) dinyatakan berlaku kembali;
- Menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573);
MEMAKNAI PUTUSAN MK
Tidak ada penjelasan yang pasti apa yang dimaksud oleh hakim MK yang mengeluarkan putusan seolah bertentangan antara pertimbangan hukum dengan amar putusan bahkan dalam amar putusan itu sendiri. Pertanyaan timbul, siapa yang harusnyA memberikan makna dalam hal seperti ini? Dari keterbatasan bacaan penulis, tidak ada Lembaga resmi yang mempunyai kewenangan mutlak dalam hal ini. Jadi tidak bisa disalahkan jika semua pihak memberikan makna/arti sesuai kepentingan dan keperpihakannya masing-masing. Bagi penulis, yang selama ini bekerja untuk buruh dan saLah satu penerima kuasa dari 661 pemberi kuasa yang tergabung dalam Gerakan Kesaejahteraan Nasional (Gekanas), tentu saja mempunyai pemahaman dalam memaknai keputusan MK sesuai sudut pandang kepentingan buruh, yakni :
- Bahwa UUCK adalah cacat formil
- Bahwa UUCK bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan”;
- Bahwa MK memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan dan apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan maka Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja menjadi inkonstitusionasecara permanen;
- Bahwa MK menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
- Bahwa dari point-point tersebut, dapat dimaknai bahwa UUCK sedang “dimatisurikan” masih hidup, tetapi tidak dapat digunakan, karena adanya kecacatan yang sedang menunggu perbaikan. maka yang perlu digarisbawahi adalah pada point (d), pertama, bahwa adanya perintah menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas. Arti kata menangguhkan adalah menunda, atau tidak melanjutkan. Artiya seluruh peraturan turunan dari UUCK yang telah diterbitkan yang bersifat strategis dan berdampak luas, tidak boleh digunakan untuk menetapkan ataupun menerapkan kebijakan dalam kepentingan masyarakat. Dalam hal ini, Peraturan Pemerintah (PP) khususnya PP 35 tentang PKWT Alihdaya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat dan Pemutusan Hubungan Kerja serta PP 36 tentang Pengupahan, harus dihentikan penggunaannya dikarenakan kedua PP tersebut sangat berdampak luas bagi kepentingan masyarakat khusunya buruh. Kedua, tidak dibenarkan menerbitkan peraturan baru yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, point ini mungkin sangat mudah dipahami. Bagi masyarakat buruh tentu saja dapat dimaknai bahwa para Gubernur tidak dapat menetapkan upah minimum dengan didasarkan pada PP 36 tersebut.