PEKERJA BEKASI BERSATU MENUNTUT UMSK 2018

Karena ini Bekasi, tempat terbaringnya beribu tulang-tulang berserakan diliputi debu, jiwa-jiwa yang melayang demi kemerdekaan negeri, yang jejaknya akan kami lanjutkan demi kemerdekaan rakyat pekerja….
Dalam kurun waktu tiga tahun ke belakang sejak Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 (PP 78) tentang Pengupahan diundangkan, praktis selama itu kaum Pekerja di Indonesia telah dipasung kesejahteraannya, khususnya terkait dengan penetapan Upah Minimum, hukum seolah telah menjadi alat kekuasan untuk menindas dan mempersulit rakyatnya sendiri.
Ketidakberpihakan pemerintah juga terlihat dari belum ditetapkannya Upah Minimum Sektoral di Kabupaten Bekasi sampai dengan akhir bulan Februari tahun 2018 ini, persoalan kajian sektor unggulan dengan 8 komponen menjadi penyebab utamanya, padahal dari aspek empiris sejak tahun 2006 di Kabupaten Bekasi sendiri sudah ada pengelompokan upah yang secara substantive merupakan pengaturan sektoral, dalam hal ini Pemerintah memakai standar ganda yang pada prinsipnya merugikan kepentingan pekerja, karena dengan begitu pelaksanaan kenaikan upah menjadi tertunda.
Bentuk abuse of power yang dilakukan oleh pemerintah dengan diterbitkannya PP 78 ini sangat jelas terlihat, misalnya dalam penetapan upah minimum, dimana hari ini dalam penetapan Upah Minimum di berbagai daerah tidak lagi didasarkan pada kebutuhan hidup layak yang biasanya dilakukan melalui suatu Survey Kebutuhan Hidup Layak (KHL) pekerja, padahal hal ini secara jelas dan tegas diperintahkan Undang-Undang Ketenagakerjaan dan telah juga dikuatkan oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 8/PUU-XIV/2016.
- Pemerintah menetapkan upah minimum berdasarkan kebutuhan hidup layak dan dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi [Pasal 88 ayat (4) UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan]
- “ketentuan Pasal 88 ayat (4) Undang-undang No.13 Tahun 2003 tidak dapat dimaknai lain selain bahwa upah minimum ditetapkan berdasar nilai KHL serta mempertimbangkan pengaruh nilai/komponen produktivitas dan nilai/komponen pertumbuhan ekonomi selama penetapan upah minimum selalu didasarkan pada ketiga nilai/komponen tersebut, hal demikian telah memenuhi prinsip kepastian hukum serta keadilan baik bagi pekerja maupun bagi pengusaha” (Pertimbangan MK dalam Putusan Nomor 8/PUU-XIV/2016)
Pemberlakuan PP 78 yang menetapkan formula kenaikan upah minimum berdasarkan pada inflasi dan pertumbuhan ekonomi secara nyata bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan di atasnya merupakan suatu peraturan yang cacat hukum, telah merugikan pekerja (sebagaimana terlihat dalam tabel) dan telah mengkebiri hak serikat pekerja untuk merundingkan kesejahteraan anggotanya sebagai sebuah dialog sosial melalui dewan pengupahan, sebagaimana dijamin oleh UUD 1945 Pasal 28 dan UU No.18 Tahun 1956 tentang hak berorganisasi dan berunding bersama.
Tahun | UMK Kab. Bekasi | Kenaikan UMK berdasarkan hasil perundingan Depekab | Kenaikan UMK berdasarkan PP 78 (Inflasi + Pertumbuhan Ekonomi) |
2011 | 1.286.421 | ||
2012 | 1.491.866 | 15.97% | 10.28%* |
2013 | 2.002.000 | 34.19% | 10.53%* |
2014 | 2.447.445 | 22.25% | 14.02%* |
2015 | 2.840.000 | 16.04% | 13.48%* |
2015 Revisi | 2.925.000 | 19.51% | 13.48%* |
2016 | 3.261.375 | Dihilangkan | 11,5% |
2017 | 3.530.434.44 | Dihilangkan | 8.25% |
2018 | 3.837.939 | Dihilangkan | 8.71% |
*Perhitungan memakai formula PP 78
Tapi ironinya pemerintah justru berkeras untuk memaksakan pelaksanaan PP 78, dengan berbagai instrumen hukum yang dibuat oleh pejabat pemerintahan untuk menegaskan kepada semua daerah agar memakai PP 78, bahkan aksi unjuk rasa gabungan serikat pekerja/serikat buruh menolak PP 78 harus direpresi dan dibubarkan paksa dengan kekerasan meskipun aksi dilakukan secara tertib dan damai.
Kabupaten Bekasi dengan kawasan industri terbesar di asia tenggara, merupakan barometer bagi gerakan buruh di Indonesia, oleh karenanya dengan ini secara bersama-sama serikat pekerja/serikat buruh di Kabupaten Bekasi melepaskan ego bendera organisasi masing-masing dan bersatu mengadakan aksi unjuk rasa bersama pada tanggal 27 Februari ini yang niscaya akan menjadi modal permulaan yang sangat baik untuk menata dan menyusun strategi gerakan buruh di Bekasi untuk bangkit kembali, diperhitungkan dan Berjaya.
Aksi masa ini menjadi penting bagi masa depan dan kepentingan seluruh nasib pekerja di Bekasi, bahkan di Indonesia karena Negara yang terwujud melalui Pemerintah kini sudah tidak lagi berada di tengah-tengah rakyatnya, kita tidak lagi mendapati pemerintah yang menjalankan fungsinya sebagai pengayom rakyat, bahkan hukum tidak lagi menjadi pedoman bagi dijalankannya kekuasaan untuk melindungi dan mensejaherakan rakyat, yang terjadi justru sebaliknya hukum dibuat untuk mengangkangi Konstitusi dan melakukan penindasan terhadap rakyat sendiri. Diperlukan kekuatan yang sangat besar untuk melawan kekuasaan yang seperti itu.
Negara telah bergerak semakin menjauh dari tujuan pembentukannya sebagaimana digariskan oleh Konstitusi, yaitu sebuah Negara kesejahteraan, semakin lama semakin jelas terlihat berubah menjadi Negara kekuasaan.
Sebagai bentuk perlawanan terhadap kebijakan pemerintah yang inkonstitusional dan merugikan masyarakat pekerja, pada 27 Februari 2018 Serikat Pekerja/Serikat Buruh di Kabupaten Bekasi yang terdiri dari; KSPSI, FSPMI, SPN dan GSPMII melakukan unjuk rasa yang diikuti oleh 10.000 (sepuluh ribu) orang masa aksi di depan kantor Pemerintahan Kabupaten Bekasi dan menuntut:
- Tolak dan segera Cabut Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan yang akan mengganggu kondusifitas dan ketenangan Hubungan Industrial di Kabupaten Bekasi.
- Segera tetapkan SK UMSK Kabupaten Bekasi 2018
- Bupati Kabupaten Bekasi mendorong segera diselesaikannya kesepakatan UMSK Kabupaten Bekasi Tahun 2018.
Demikian Pers Release ini dibuat agar dapat diketahui.
Bekasi, 27 Februari 2018
Hidup Pekerja Indonesia,
Hidup Rakyat Indonesia
Bersatu dan Berjuanglah, untuk hidup yang lebih bermartabat.