22 Januari 2022 – Berdasarkan surat instruksi dari Pimpinan Daerah KSPSI Jawa Barat hari ini massa aksi buruh yang berasal dari unsur Anggota Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) dari Provinsi Jawa Barat, DKI Jakarta dan Banten telah tiba di DPR RI di Jalan Gatot Subroto, Jakarta Pusat, pada Rabu tanggal 26 Januari 2022 Pukul 09.30wib pagi ini.
Mochamad Sidharta Koordinator Lapangan FSP LEM SPSI bersama dengan Aliansi Serikat Pekerja Daerah Jawa-Barat, Banten, dan DKI Jakarta (LEM) dalam press release menjelaskan bahwa aksi unjuk rasa buruh anggota SPSI di depan Gedung DPR RI, untuk menyampaikan aspirasi dan memohon, meminta, mendesak kepada anggota DPR RI untuk membuat keputusan yang seadil-adilnya dan sejujur-jujurnya.
Aksi unjuk-rasa hari ini adalah karena Pemerintah diduga tidak mentaati Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor : 91/PUU-XVIII/2020, bahwa UU No. 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja dinyatakan Inkonstitusional Bersyarat. Hal itu terbukti dari masih digunakannya PP No. 36 Tahun 2021 Tentang Upah Minimum,
“padahal jelas sekali bahwa Putusan MK pada diktum nomor 7 yang memerintahkan untuk menunda/menangguhkan kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas. Dan di dalam pasal 4 ayat (2) PP 36 Tahun 2021 tersebut jelas dinyatakan bahwa Pengupahan adalah “Program Strategis Nasional”.
Sementara itu, Putusan MK yang menyatakan bahwa UU No. 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja dinyatakan Inkonstitusional Bersyarat, dan salah satu alasan terpenting adalah UU tersebut melanggar azas dalam pembentukan undang-undang.
“Dengan demikian, perbaikan undang-undang ini harus dimulai dari awal seperti pembuatan/pembentukan undang-undang baru, yaitu harus melibatkan seluruh pihak-pihak yang terkait, dan tidak mungkin perbaikannya hanya melalui revisi UU 12 Tahun 2011 Tentang PPP (Pembentukan Peraturan Perundang-undangan),”ungkap Sidharta.
Beliaupun mempertanyakan, apakah mungkin merevisi azas. Yang jelas harus dimulai dari awal lagi, tidak semudah dan se-pragmatis dengan melegitimasi UU Cipta Kerja tersebut melalui revisi UU No 12 Tahun 2011 Tentang PPP. Apabila hal ini dilakukan maka Pemerintah dan DPR secara bersama-sama diduga telah melakukan abuse power.
Seharusnya ada perbedaan perlakuan antara tenaga kerja dan pemilik perusahaan (investor), dimana tenaga kerja adalah masyarakat yang masih membutuhkan perlindungan dari negara, karena biasanya tenaga kerja tidak mempunyai posisi tawar yang baik. Sedangkan pemilik perusahaan (investor) relatif tidak terlalu membutuhkan perlindungan negara, terutama dalam hubungan kerja, biasanya pengusaha lebih superior.
“Oleh karenanya, kluster ketenagakerjaan wajib dikeluarkan dari UU Cipta Kerja No. 11 Tahun 2020, karena merupakan ranah perlindungan,” harap Sidharta.
Aliansi Serikat Pekerja Daerah Jawa-Barat, Banten, dan DKI Jakarta (LEM) mengajukan tuntutan,
“Batalkan UU No. 11 Th. 2020 Tentang Cipta Kerja dan tolak revisi UU No. 12 Th. 2011 tentang Tata Cara Pembentukan Perundang-Undangan serta, revisi Keputusan Gubernur Tentang Upah Minimum Yang Berdasarkan PP No. 36 Th. 2021,”kata Sidharta.
Sumber : mediaGaruda