
Pendahuluan
Transparansi dan partisipasi publik dalam proses kebijakan di pemerintahan Jokowi semakin menurun. Berbagai UU dan RUU disusun dengan cara yang tertutup, tergesagesa dan mengkhawatirkan kebebasan sipil. UU KPK, UU Cipta Kerja, rencana revisi UU Pembentukan Peraturan Perundangan adalah beberapa contohnya. Hilangnya transparansi dan partisipasi publik dalam penyusunan kebijakan merupakan penanda proses yang demokratis terganggu dan suara serta kepentingan publik makin tak terwakilkan.
Yang terbaru adalah rencana pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau RKUHP juga menjadi ancaman terhadap demokrasi. Beberapa pasal dalam RUU tersebut dianggap sangat berbahaya karena akan membungkam suara kritis terhadap kebijakan pemerintah. Di dalam RKUHP dimasukkan lagi pasal-pasal tentang penghinaan terhadap presiden, pemerintah, kekuasaan umum atau lembaga negara dan pasal tentang demonstrasi dengan ancaman hukuman penjara dan denda.
Di tengah ancaman tersebut, organisasi serikat buruh muncul dalam gerakan yang melawan proses perumusan kebijakan yang tidak demokratis. Tulisan ini hendak memperlihatkan bagaimana serikat buruh menjadi peran penyeimbang yang sangat penting untuk menyalurkan kepentingan publik secara umum dan kelas pekerja secara khusus dalam penetapan kebijakan publik. Meskipun eksistensi serikat buruh juga menghadapi tantangan yang besar, akan tetapi peran dan kontribusinya masih signifikan dan berhasil menyuarakan kepentingan publik.
Kebijakan ketenagakerjaan penting dan peran serikat pekerja “If it wasn’t for union workers and labor unions, there would be no 40-hour works weeks, eight-hour work days, pensions or vacation” – jika bukan karena serikat pekerja dan serikat buruh, tidak akan ada 40 jam minggu kerja, delapan jam hari kerja, pensiun atau liburan- (Thomas Graham)
Kutipan di atas adalah sebuah pengakuan betapa berperannya serikat buruh dalam pengaturan dunia kerja dan hubungan kerja. Akan tetapi saat ini banyak yang tidak menyadari pentingnya peran tersebut.Indonesia telah mengalami beberapa dekade kehidupan perserikat-buruhan dengan. corak perjuangan dan dinamika yang dipengaruhi oleh situasi politik saat itu. Dimulai dari jaman penjajahan Belanda, masa awal kemerdekaan, Orde Lama, berlanjut dengan masa Orde Baru dan masa Reformasi. Setelah Orde Baru yang meniadakan kebebasan
berserikat, masa reformasi merupakan masa kebebasan bagi gerakan rakyat termasuk gerakan buruh/serikat buruh yang membawa situasi kebebasan berserikat dan bertambahnya ruang-ruang yang dapat meningkatkan peran masyarakat dalam penetapan kebijakan publik.
Pada era reformasi serikat buruh bisa leluasa untuk melakukan beragam cara protes, dan bisa lebih banyak terlibat dalam lembaga-lembaga yang dirancang untuk dapat mempengaruhi kebijakan publik. Dimulai dari Dewan Pengupahan tingkat Nasional, propinsi dan kabupaten/kota, Lembaga Kerjasama Tripartit tingkat nasional, propinsi dan kabupaten/kota hingga dewan pengawas BPJS. Namun demikian kalangan buruh sendiri sering merasakan berbagai kepentingannya tidak terakomodir oleh pemerintah melalui institusi-institusi tersebut.
Perjuangan mendorong kebijakan publik yang berpihak pada rakyat justru berhasil dilakukan di luar kelembagaan ketenagakerjaan yang resmi. Jika melihat jejak gerakan serikat buruh setelah reformasi, ada peran besar yang telah diambil oleh serikat buruh yaitu terbitnya Undang-undang No. 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Terbitnya Undang-undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), harus diakui merupakan hasil dari peran besar serikat buruh. Serikat buruhlah yang melakukan gugatan terhadap pemerintah Indonesia (Presiden dan DPR) agar segera melaksanakan perintah Undang-undang No. 40 tahun 2004 tentang Sitem Jaminan Sosial Nasional yang tidak dilaksanakan meskipun telah melampaui batas waktu yang ditentukan oleh undang-undang. Pasal 52 ayat 2 UU SJSN mengamanatkan semua ketentuan yang mengatur BPJS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disesuaikan dengan Undang-Undang ini paling
lambat 5 (lima) tahun sejak diundangkan. Artinya seharusnya paling lambat tahun 2009 terbangun system jaminan sosial sebagaimana diamanatkan, tetapi hingga tahun 2010 belum ada tanda-tanda pelaksanaanya. Hal itu menjadi pemicu kalangan serikat buruh untuk bergerak secara sistematis dan intensif, melalui aksi jalanan dan gugatan di pengadilan dan parlemen selama dua tahun penuh sehingga lahirlah UU no 24 tahun 2011 tentang BPJS.
Sayang sekali keberhasilan perjuangan serikat buruh dan masyarakat sipil lainnya justru terhenti di era pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) sebagai presiden sipil hasil pemilihan rakyat secara langsung. Di era pemimpin sipil, justru partisipasi masyarakat sangat dihambat dalam penetapan kebijakan publik dan mengabaikan suara warganegara. Proses kebijakan dan regulasi yang mengabaikan suara warga yang paling fenomenal adalah omnibus law UU Cipta Kerja yang perumusannya sangat tertutup dan sepihak padahal UU itu mengatur banyak sekali aspek kehidupan masyarakat. Berkat perlawanan gerakan serikat buruh dengan didukung oleh gerakan mahasiswa dan elemen masyarakat lainnya, proses yang tidak demokratis tersebut sebagian dapat dikoreksi. Selain UU Cipta Kerja Gerakan serikat buruh juga berhasil mengoreksi kebijakan pemerintah tentang JHT atau Jaminan Hari Tua.
Ide tentang adanya omnibus law cipta kerja untuk pertama kali disampaikan di depan publik adalah pada saat pidato pelantikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk periode ke dua yaitu pada tanggal 20 Oktober 2019 dihadapan sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Rencana omnibus law sendiri tertuang dalam lampiran ke I Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2019-2024. Dibawah program penyederhanaan regulasi, khusus untuk RUU Cipta Lapangan Kerja akan selesai pada tahun 2024.
Kebijakan ketenagakerjaan dalam UU Cipta Kerja ditolak karena secara substansi semakin merugikan posisi tawar dan perlindungan pekerja dan prosesnya meninggalkan serikat pekerja dan elemen masyarakat sebagai pemangku kepentingan utama lainnya seperti petani, masyarakat adat dan juga para pejuang lingkungan
sebagai konstituen penting. Proses yang tidak demokratis itu – sekaligus melanggar UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan-menghasilkan protes keras dari warga negara. Aturan dalam UU Cipta Kerja yang paling kuat mendapat penolakan adalah tentang ketenagakerjaan. Penolakan tersebut dilakukan secara massif dan terorganisir melalui organisasi serikat buruh dan hasilnya pemerintah mengundang serikat buruh untuk memberikan masukan dan melibatkan dalam tim substansi pemerintah. Setelah mengikuti rapat beberapa kali, beberapa serikat menyatakan tidak mau terlibat dalam undangan pemerintah dan beberapa serikat lain keluar dari tim substansi yang dibentuk oleh pemerintah dengan alasan pelibatan itu tidak sungguh-sungguh akan mendengarkan aspirasi dari kalangan buruh. Mereka yang menyatakan mundur adalah KSPI dan KSPSI kubu Andi Gani Nuwawea, KASBI. Meskipun demikian masih ada serikat yang bertahan menjadi tim substansi yaitu KSBSI, KSPN dan F Sarbumusi.
Perbedaan sikap organisasi serikat buruh terhadap RUU Ciptaker terdiri dari 3 kelompok
yaitu:
- pro pemerintah (KSBSI, KSPN, F Sarbumusi);
- menolak tetapi masih berusaha melakukan lobby ke DPR dan terlihat seperti dalam satu sisi dengan DPR (KSPI dan KSPSI kubu Andi Gani Nuwawea dan GEKANAS);
- menolak tegas dan tidak membuka dialog dengan pemerintah maupun DPR yaitu antara lain KASBI, GSBI dan serikat-serikat buruh lain Serikat buruh adalah aktor kunci – dengan dukungan kelompok masyarakat sipil lainnya.
yang berhasil menekan pemerintah untuk membuka proses penyusunan UU Cipta Kerja serta menggugatnya ke Mahkamah Konstitusi. Meskipun UUCK meliputi berbagai isu, tetapi yang paling banyak menggugat ke MK adalah kelompok buruh, ada 5 berkas gugatan di MK yang datang dari kalangan buruh, meskipun satu Penggugat ditolak karena tidak memenuhi syarat dalam melakukan gugatannya. Jaminan Hari Tua atau JHT merupakan salah satu program jaminan sosial dalam UU SJSN. JHT diberikan kepada pekerja pada saat usia pensiun (pasal 18 huruf c) dan pada pasal 35 ayat 2 menegaskan tujuan diselenggarakannya program Jaminan Hari Tua adalah agar peserta menerima uang tunai pada saat usia pensiun, cacat permanen atau meninggal dunia. Untuk pelaksanaanya dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah (PP) No. 46 tahun 2015 yang diubah melalui PP No. 60 tahun 2015.
Pada saat terjadi krisis akibat pandemic Covid-19, JHT menjadi andalan bagi buruh yang kehilangan pekerjaannya untuk mendapatkan dana segar. Hal ini tidak sesuai dengan tujuan awal dari program JHT, akan tetapi sangat bermanfaat bagi buruh yang kehilangan pekerjaan.
Dalam masa pemerintahan Jokowi dua kali usaha untuk mengembalikan aturan JHT sesuai tujuan awal dibentuknya program JHT. Yang pertama pada tahun 2015, yang kedua adalah tahun 2022. Kedua usaha tersebut mendapat perlawanan yang sengit dari kalangan buruh dan hasilnya pemanfaatan JHT hingga saat ini masih seperti yang dikehendaki oleh buruh yaitu dapat dambil ketika mereka kehilangan pekerjaan karena Covid.
Tahun 2022, Kementerian Ketenagakerjaan dipaksa mengubah permenaker yang baru terbityang dianggap tidak mengakomodir kepentingan buruh. Terlepas dari perdebatan di sisi legalnya, keputusan mengambil JHT saat PHK di saat pandemic merupakan kontribusi besar dari serikat buruh yang gencar melakukan perlawanan baik melalui lobby dan unjuk rasa yang masif.
Catatan di atas memperlihatkan, perlawanan serikat buruh berhasil memaksa pemerintah melakukan perubahan. Jaminan sosial nasional melalui BPJS bisa terlaksana dan sudah dirasakan manfaatnya oleh seluruh warga negara, sekalipun masih perlu banyak perbaikan. Berikutnya adalah keberhasilan serikat buruh mengoreksi proses UU Cipta Kerja bab Ketenagakerjaan dan mengangkat isu tersebut dan isu JHT menjadi isu publik. Keberhasilan ini patut dicatat sebagai kontribusi serikat buruh agar proses perumusan kebijakan publik berorientasi pada rakyat.
Revitalisasi Peran Serikat Buruh
Kasus-kasus keberhasilan perlawanan di atas memperlihatkan kekuatan serikat buruh sebagai gerakan masyarakat yang memiliki daya dorong yang kuat untuk menekan pemerintah. Kasus-kasus tersebut sekaligus memperlihatkan bahwa organisasi serikat buruh – yang eksistensinya dijamin oleh UU no 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh – tidak hanya berperan dalam system hubungan industrial di Indonesia dan mendorong kebijakan publik untuk ketenagakerjaan, akan tetapi juga memperjuangkan kepentingan warga negara dan kelas pekerja secara keseluruhan.
Sebagai sebuah organisasi, serikat buruh sangat mengandalkan kekuatan anggota sebagai legitimasinya. Serikat yang kuat dan berpengaruh ditentukan oleh jumlah anggota, jumlah iuran (union dues) dan jumlah PKB. Iuran adalah biaya keanggotaan pekerja yang dibayar setiap bulan untuk membiayai kegiatan organisasi, membayar gaji pengurus, lobby ke legislative dan eksekutif, kampanye, pendidikan anggota. Semakin besar jumlah anggota dan semakin disiplin serta transparan pengumpulan dan pengelolaan iuran, organisasi serikat buruh akan semakin kuat dan independent serta leluasa menjalankan program-programnya.
Serikat buruh yang kuat akan menguntungkan tidak hanya pekerja tetapi juga pengusaha dan pemerintah karena hal itu akan menciptakan kesetaraan posisi tawar diantara ketiga pihak tersebut. Kesetaraan posisi tawar akan menghasilkan sebuah hubungan industrial yang bermutu, produktif dan berkeadilan. Kesetaraan posisi dalam hubungan industrial di Indonesia masih terus perlu diperjuangkan. Dari sisi serikat buruh, berbagai tantangan organisasional harus diselesaikan agar mampu berhadapan secara setara dengan dua aktor lainnya.
Tiga hal yang amat krusial yang perlu dibenahi secara internal oleh serikat buruh adalah 1)pembenahan organisasi, 2) penguatan basis data organisasi dan 3) percepatankaderisasi kepemimpinan. Pembenahan organisasi menjadi lebih modern, efektif, efisien dan professional sangat diperlukan untuk memperkuat pengaruh serikat buruh. Penguatan basis data organisasi merupakan acuan untuk menyusun strategi organisasi. Salah satu basis data terpenting adalah jumlah anggota. Hingga saat ini jumlah kepadatan beserikat atau union density
(jumlah anggota serikat) secara nasional berbeda-beda. BPS mencatat bahwa pada tahun 2021 12.04% pekerja yang menjadi anggota serikat pekerja.
Kemnaker mencatat jumlah anggota serikat berdasarkan hasil verifikasi tahun 2019 kepadatan serikat 3%. KSPI mengatakan kepadatan serikat adalah 7%. Serikat pekerja secara nasional perlu membuat catatan yang rapi tentang jumlah keanggotaannya. Percepatan kaderisasi kepemimpinan juga hal yang krusial mengingat perubahan dunia kerja dan angkatan kerja memunculkan tantangan yang semakin berat yang perlu disikapi secara cepat, taktis dan efektif. Generasi muda pemimpin serikat sudah saatnya dimunculkan dan dibuka peluang untuk memegang estafet kepemimpinan serikat.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Keberhasilan serikat buruh dalam mendorong dan mengoreksi kebijakan publik yang telah dicapai perlu dijadikan acuan dan catatan kemenangan untuk menyusun aksi dan strategi kolektif yang lebih utuh. Didahului dengan langkah konsolidasi antar serikat buruh dan diikuti dengan penataan organisasi serikat menjadi lebih modern, transparan dan efisien bisa menjadi dua langkah pertama agar serikat buruh tetap relevan sebagai
salah satu pendukung demokrasi di Indonesia.
Langkah tersebut dapat dilakukan secara inklusif dengan membangun kerja sama dan bersinergi dangan kelompok masyarakat sipil lain seperti para pemuda, mahasiswa, petani, nelayan, pekerja informal dan kelompok miskin kota, akademisi, media massauntuk dapat membangun dan memperkuat pelaksanaan system demokrasi yang substansial di seluruh negeri.
Kontributor-MediaPcFspKeSpsiBks